BEBERAPA CATATAN TENTANG LAHIR DAN KINERJA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KEKUASAAN KEHAKIMAN INDONESIA
Abstract
BPUPKI Meeting in 1945 but was not accepted. Judicial review
is one of the authorities of the Constitutional Court (MK), the
idea can be considered as the forerunner of the Court. In 1949
KRIS established a place for judicial review in the form of
constitutional review of legislation, local levels of the state
constitution, while the Federal law can not be contested, and
continued in the 1950 Constitution, as a reflection of the system
/ understanding of parliamentary supremacy. The idea
resurfaced at the end of the Old Order government but in the
form of legislative review/political review of the MPRS, but MPRS
failed to make it happen. It was not until the reform era in the
2000 legislative review manifested through TAP MPR No. III/
MPR/2000, then with the establishment of the Constitutional
Court on the 1945 changes in 2001-2002 have a concrete form
and translated into Law Number 24 Year 2003 concerning the
Constitutional Court. In a short time the Court as one of the
principals of judicial power grows and develops into a
distinguished institution and the state can resolve the political
issues and constitutional law including dispute resolution interstate authority, disputes the general election (legislative and
presidential election/vice president), and testing legislation
relative decision acceptable to all parties to the dispute, because
it is considered quite fair and balanced, and does not cause
social and political upheavals in society. Also related to the
respect, protection and enforcement of human rights is a basic
right for citizens, among other things during to sham death
politically and civil.
Keywords
Full Text:
PDFReferences
Aidul Fitriciada Azhari, Implikasi Amendemen Konstitusi dalam
Pembangunan Hukum di Indonesia. Makalah disampaikan
dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN)
, yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum
Nasional (KHN) RI, Jakarta, 21 November 2005.
Dalam praktik, karena dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun
pengurusan hakim di bidang organisasi,
administrasi, dan finansial masih ditangani Pemerintah
(dalam hal ini Departemen Kehakiman, Departemen
Agama, dan Departemen Hankam), “pengaruh
Pemerintah” masih tetap ada walaupun secara tidak
lansung, sampai dengan datangnya era reformasi yang
benar-benar memisahkan fungsi-fungsi eksekutif dari
yudikatif.
Dalam perjalanannya MK nantinya akan menafsirkan lembaga
negara mana yang disebut lembaga negara utama dan
mana yang lembaga negara bantu walaupun belum
secara utuh (partial). Sebelumnya Penulis sendiri
menulis apa yang dimaksud dengan “lembaga negara”
dalam UUD 1945 dengan judul “Lembaga (Tinggi) Negara
Menurut UUD” dalam Menjaga Denyut Konstitusi (Refleksi
Satu Tahun Mahkamah Konstitusi), dengan Editor Refly
Harun, Zainal AM Hussein, Bisariyadi, Diterbitkan oleh
Konpres, Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2004.
Menurut Jimly Asshiddiqie, dengan lahirnya TAP MPR No. I/
MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan
Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR-RI
Tahun 1960 sampai dengan Tahun 200, maka TAP MPR
telah “disederajatkan” dengan UU (vide Pasal 4 TAP MPR
No. I/MPR/2003).
Namun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara
No. 005/PUU-IV/2006 tentang Pengujian UU No. 22/
tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
diputuskan Komisi Yudisial tidak berwenang mengawasi
hakim Mahkamah Konstitusi.
Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang disusun kembali oleh
Sekretariat Negara, Penyunting, Safroedin Bahar dan
Nannie Hudawati, Jakarta, 1998.
Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia, Buku Panduan dalam
Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Sri Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia, Alumni,
Bandung, 1986.
TAP MPR ini sudah tidak berlaku lagi dengan telah berjalannya
Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 (vide Pasal 3 TAP MPR
No. I/MPR/2003), dan TAP MPR No. III/MPR/2000 juga
tidak berlaku lagi dengan telah dibentuknya Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Peraturan perundang-undangan dan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun1999 ini telah diganti dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 di mana
pengujian Perda dan Keputusan /Peraturan Kepala
Daerah oleh Pemerintah Pusat (executive review) dibagi
dua bagian, yaitu untuk substansi yang menyangkut
APBD, pajak dan retribusi daerah, dan tata ruang yang“diuji” oleh Pemerintah (secara berjenjang) adalah
Raperdanya, sedangkan substansi yang lain yang “diuji”
adalah Perdanya (secara berjenjang). Sedangkan judicial
review tetap dilakukan oleh Mahkamah Agung (vide Pasal
A ayat (1) UUD 1945) seperti juga diatur sebelumnya
dalam peraturan peraturan perundang-undangan
sebelum reformasi. Secara teoritis, dengan tanpa
mengubah Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945, sebenarnya semua jenis dan tingkatan
peraturan perundang-undangan dapat diuji di
Mahkamah Konstitusi sepanjang menyangkut aspek
konstitusionalitasnya.