SUATU DILEMA DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA KORUPTOR DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
Abstract
Paling tidak ada dua hal pokok yang menyebabkan masih maraknya korupsi di Indonesia, yaitu pemilihan kepala daerah atau anggota legislatif yang berbiaya mahal dan rendahnya pidana yang dijatuhkan oleh hakim. Fenomena yang muncul pada saat ini, di samping para koruptor menggunakan jasa penasehat hukum yang bertarif mahal, ternyata mereka dalam menjalani proses peradilan sama sekali tidak menunjukkan adanya rasa malu, rasa bersalah, apalagi rasa penyesalan, mereka tetap sumringah, penuh senyum, penuh ketawa, dan kepala tetap tegak, berbeda dengan pelaku tindak pidana yang lain. Hal lain yang mengherankan, masyarakat juga kadang-kadang berbuat yang tidak sepantasnya, yaitu dengan memberikan dukungan yang luar biasa kepada para koruptor. Demikian juga petugas lembaga pemasyarakatan (LP) menempatkan para koruptor tersebut dalam satu sel sendirian yang terpisah dari narapidana lain dengan fasilitas yang cukup memadai dan pada gilirannya akan menimbulkan hubungan supply and demand. Dengan adanya narapidana koruptor, menyebabkan fungsi LP menjadi tidak berjalan karena para narapidana koruptor memiliki berbagai kelebihan jika dibandingkan dengan petugas LP itu sendiri. Untuk itu, ke depan perlu diadakan perombakan agar narapidana koruptor ditempatkan dalam LP yang juga dihuni oleh narapidana lain, sehingga di samping lebih memenuhi rasa keadilan juga agar narapidana koruptor dapat diberdayakan untuk kemanfaatan narapidana lain maupun petugas LP itu sendiri.
Keywords
Full Text:
PDFReferences
“206 Kasus Korupsi Tak Selesai, Krisis Moral Aparat Penegak Hukum Mencapai Titik Tertinggi”. Kompas (26 Februari 2016).
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Center for Detention Studies, Refleksi Sistem Pemasyarakatan, Anatomi Permasalahan dan Upaya Mengatasinya, Jakarta: 2015.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Reformasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan “Menuju Lembaga Pemasyarakatan Produktif”, Jakarta: 2016.
Idris, Aradila Caesar Ifmaini, “Vonis Pengadilan Tipikor”. Kompas (29 Februari 2016).
Indonesia Corruption Watch, “Pernyataan Pers Indonesia Corruption Watch: Hentikan Pengistimewaan Koruptor”. (Jakarta: 31 Maret 2016).
Komisi Hukum Nasional, Arah Pembangunan Hukum Nasional, Kajian Legislasi dan Opini Tahun 2013, Jakarta: 2013.
Komisi Hukum Nasional, “Korupsi Politik” dalam Darurat Hukum, Sumbang Saran, Jakarta: 2013.
“Komitmen Elite Jadi Kunci, Ditunggu, Pembangunan Sistem Anti Korupsi”. Kompas (5 April 2016).
“MA Berhentikan Hakim Tipikor”. Kompas (1 Juni 2016).
“Masih Dapat Banyak Fasilitas di Penjara, Napi Koruptor Duduki Kasta Tertinggi”. Rakyat Merdeka (2 April 2016).
Perserikatan Bangsa-Bangsa, The Standard Minimum Rules For The Treatment of Prisoners, 1955.
“Sekretaris MA Diduga Terkait, KPK Cegah Nurhadi Bepergian ke Luar Negeri”. Kompas (22 April 2016).
Sudirman, Dindin, Realitas Sosial Penghuni Lembaga Pemasyarakatan, dalam Refleksi 50 Tahun Sistem Pemasyarakatan, Anatomi Permasalahan dan Upaya Mengatasinya. Jakarta: Center for Detention Studies, 2015.
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemasyarakatan, UU No. 12 Tahun 1995. LN No. 77 Tahun 1995, TLN No. 3614
Indonesia. Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 Tahun 2001. LN No. 134 Tahun 2001, TLN No. 4150
Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, PP No. 31 Tahun 1999. LN No. 68 Tahun 1999.
Indonesia. Keputusan Menteri Kehakiman tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, Kepmenkeh. Nomor: M.02-PK.04.10 Tahun 1990
Indonesia. Peraturan Menteri Hukum dan HAM tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Izin Keluar Bagi Narapidana Dalam Rangka Pembinaan, Permenkumham No. 12 Tahun 2016.